Sabtu, 14 Januari 2012

"KERANI"

Tulisan lepas:  

(kisah tentang -jabatan- Sekretaris abadi.....)


 Edited and released by mastonie on Saturday, January 14, 2012 at 9:25am

      Pernahkah anda mendengar atau mengenal kata ini?  
Kerani adalah padan kata dari carik,  juru tulis atau sekarang lebih populer disebut sebagai sekretaris.
Saya mengenal kata kerani  sejak masih duduk dibangku sekolah menengah. Yaitu sewaktu saya aktif dikegiatan kepramukaan.
Kata ini sangat membekas dibenak saya setidaknya karena dua hal:
Pertama, kata ini -waktu itu- terasa sangat asing ditelinga saya. Bahkan semula tidak saya mengerti artinya.
Saya baru ‘ngeh’ (maklum) makna katanya setelah aktif di Kepramukaan.  
Kedua, selama berkecimpung di kegiatan Pramuka itulah justru  saya selalu ditunjuk jadi kerani! Saya heran dan tidak mengerti mengapa selalu saya yang didaulat jadi kerani.

      Awal mula saya jadi kerani dimulai dari kepanitian persamiperkemahan sabtu minggu- ditingkat gugus depan. Kemudian ‘naik’ sampai kegiatan Penegak/Pandega ditingkat Kwartir Cabang bahkan kemudian sampai ke Kwartir Daerah.

Dalam forum pemilihan sebuah kepanitiaan/kepengurusan, biasanya secara aklamasi saya selalu dipilih jadi kerani. Sangat jarang sekali dipilih jadi Ketua ataupun Bendahara.
Entah mengapa. Mungkin saya memang tampak tidak ada 'potongan' jadi Ketua, -apalagi 'jahitan' saya- atau karena hal lain. Manapula terpilih jadi Bendahara, karena saya memang tidak pintar pegang uang.
Tapi harus saya akui bahwa dari 'sono'nya mungkin  saya memang mempunyai ‘aura’  untuk jadi seorang juru tulis bin klerk alias sekretaris -cia elah-
Soalnya pengalaman pribadi saya -yang selalu dipercaya menjadi kerani- menunjukkan hal tersebut.
Saya adalah pendatang baru -sebagai pramuka penegak - di gugus depan, ketika ada pemilihan kepanitiaan persami untuk persiapan LT (Lomba Tingkat).
Yang terpilih sebagai Ketua adalah seorang Penegak/Pandega senior yang memang sudah berpengalaman. Ketika tiba pada giliran pemilihan kerani, Kakak Pembina langsung menyodorkan nama saya, yang anehnya langsung disetujui secara aklamasi! Padahal saya belum punya pengalaman satu kalipun ikut dalam kegiatan persami.
Saya pikir ini pasti cuma sebuah uji coba bagi keberadaan  saya yang masih ‘pupuk bawang’  (pemula) di gugus depan.
Saya tidak tahu, apakah uji coba tersebut bisa saya lalui dengan baik atau tidak.
Kenyataannya kemudian saya selalu didaulat jadi kerani sampai ke tingkat Kwartir Cabang dan Daerah.


      Pada saat saya berhasil terpilih masuk menjadi anggota Paduan Suara milik sebuah Kodam di Jawa, pengalaman itu berulang.
Waktu itu Paduan Suara diminta oleh Kodam untuk membentuk sebuah kepengurusan sebagai layaknya organisasi. Saya adalah anggota Paduan Suara yang masih ‘kinyis-kinyis’  (masih sangat baru).
Terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua adalah anggota paling senior. Yang dipilih untuk menjabat Bendahara tidak lain adalah istri sang Ketua.
Mereka  notabene adalah orang yang memang diserahi oleh Kodam untuk membentuk Paduan Suara tersebut. Ketiganya adalah jebolan Paduan Suara terkenal (milik Kodam juga)  di Yogyakarta.
Lalu tiba saatnya untuk memilih seorang Sekretaris.
Tanpa aba-aba seluruh peserta rapat pemilihan menyebut nama saya! Saya hanya terpana saja ketika (sekali lagi) saya terpilih secara aklamasi sebagai juru tulis alias carik alias kerani alias  sekretaris!
Darimana mereka tahu dan yakin kalau saya mampu jadi sekretaris, wong anggota lain yang lebih senior masih banyak? Saya malah terpilih menjadi sekretaris selama dua periode kepengurusan sampai tiba saatnya saya mengundurkan diri. Itupun karena saya harus pindah tugas keluar kota.
Itu tadi adalah pengalaman saya ketika masih jomblo.

      Pada waktu saya sudah berkeluarga pengalaman itu terulang lagi.
Saya tinggal disebuah komplek pemukiman yang baru saja dibangun oleh Perumnas. 
Perumnas mengeluarkan aturan bahwa setiap 10 kopel (rumah yang saling berhimpit dinding),  -berarti 20 rumah atau 20 KK-,  diharapkan membentuk kepengurusan RT sendiri.
Saya termasuk warga yang paling awal menempati rumah di komplek Perumnas  itu. 
Pada waktu pemilihan pengurus RT lagi-lagi saya didaulat oleh sesama warga yang juga sama-sama penghuni baru dan baru saling kenal, sebagai Sekretaris RT.
Dan seperti yang sudah sudah, saya selalu tidak bisa mengelak.
Yang mengherankan lagi, pada setiap kegiatan warga yang memerlukan pembentukan kepanitiaan (misalnya Agustusan), lagi-lagi sayalah yang ditunjuk jadi sekretaris.
Teman teman  sampai tega memberi julukan ‘sang sekretaris abadi’.
Weleh weleh, ya meski sebenarnya saya sudah jeleh (bosan) tapi toh tetap saja harus saya jalani. Bagaimanapun itu adalah sebuah amanah yang harus saya junjung tinggi.

     Begitulah, ‘sejarah’ hidup saya agaknya masih belum terhenti didaulat sebagai klerk,  kerani atau ‘pak Carik’.
Sepulang dari tanah suci tahun 2007. Beberapa teman berinisiatif mendirikan sebuah perkumpulan. Tujuannya untuk tetap menjaga tali silaturahim antar sesama jemaah sesudah kembali dari berhaji.
Diluar kebiasaan, beberapa teman mengusulkan nama saya sebagai Ketua. Hampir saja terjadi ‘kecelakaan’ penunjukan. Saya jelas menolak mentah-mentah. Pertama karena saya merasa kurang pengetahuan dalam ilmu agama. Yang kedua karena masih banyak jemaah lain yang lebih sepuh usianya dari saya. Bahkan juga lebih tinggi jabatannya dalam masyarakat.  Penolakan saya didukung mati-matian oleh istri saya. Tampaknya dia juga segan kalau suaminya dijadikan ketua. Semua jadi ribut saling adu argumentasi.
Akhirnya terjadi kesepakatan untuk kebaikan. Kalau pinjam istilah para politikus sekarang mungkin disebut win-win solution. Maka saya (lagi-lagi) ditunjuk menjadi Sekretaris saja.
Yang jadi pak Ketua adalah seorang Notaris yang sangat faham ilmu agama.
Mau tidak mau saya harus mau. Namanya juga kesepakatan. Apalagi saya merasa sudah tidak asing jadi seorang kerani atau sekretaris di perkumpulan apa saja.Tugasnya juga paling-paling sama saja.
Sampai saat ini (hampir 5 tahun lamanya) jabatan 'abadi'  itu masih saya pegang.

       Usia mungkin mengubah penampilan seseorang. Ya, siapa tahu.
Merasa senang menulis, tapi belum tersalur maksimal, saya memutuskan ikut Lokakarya Indonesia Menulis.

Didalam Lokakarya ini saya mengira akan jadi peserta paling uzur. Ternyata dugaan saya keliru. Masih ada dua atau tiga orang lain yang lebih tua usianya dari saya.
Namun ada kejutan. Justru diakhir acara panitia penyelenggara Lokakarya memilih Ketua Kelas secara mendadak.
Belum sempat saya unjuk suara mengusulkan teman yang tertua, mendadak sudah ada yang meneriakkan nama saya. Sontak seluruh peserta berteriak menyebut nama saya. Bengong karena kalah cepat dan tak menyangka, akhirnya saya terdaulat menjadi Ketua Kelas! 
Kali ini saya tak bisa mengelak lagi, karena tak ada jabatan Sekretaris Kelas.
Baru sekali ini saya terpilih jadi Ketua.
Barangkali karena penampilan saya sekarang memang sudah tampak ketua-an.....

1 komentar:

  1. Saya selalu angkat jempol kepada tulisan-tulisan mastonie, bukan saya mengada-ada namun memang demikian adanya. Mengenai tulisan lepas kali ini, mastonie mengangkat pengalaman pribadinya menjadi 'kerani', dan tentang kata 'kerani' ini sendiri, bagi anak-anak jaman sekarang mungkin banyak yang tidak memahami artinya karena sangat jarang dipakai lagi dalam bahasa Indonesia kini. Mungkin kata 'kerani' ini berasal dari bahasa Melayu, yang dalam bahasa Belanda-nya sama dengan "klerk" atau juru tulis, seperti telah dikatakan mastonie dalam tulisannya. Barangkali... memang sudah digariskan dari 'sono-nya' bahwa "jabatan sekretaris tersebut telah menjadi hak paten" mastonie dari muda dan di hari tuanya meningkat menjadi 'KETUA'. Alhamdulillah. Kiranya bertambah-tambahlah SEMANGAT-nya untuk tetap menulis dan akhirnya saya hanya bisa 'urun' mendoakan agar supaya hasil karyanya menjadi nyata dalam penerbitan.. semoga.

    BalasHapus